Rencana Tuhan lebih indah daripada rencana makhlukNya. Sebuah kata-kata mutiara yang saya selalu percaya dan pegang untuk prinsip kehidupan saya. Selain sebagai penyemangat di kala jatuh, juga sebagai pengingat saat kita lagi suka cita.
Jum’at,
17 April 2015, di kala jam senggang kerja (sekitaran jam 9 pagi) saya terlibat
percakapan maya dengan seorang sepupu yang kini menetap di Jogja. Percakapan
yang berawal dari tegur sapa dilanjut dengan saling menanyakan kabar kehamilan
istri dan adik dari sepupu saya.
“Mbak
Al, kapan melahirkan, Mbak??” ketik saya.
“Akhir
bulan ini, Jib. Istri kapan HPLnya?” balas Mbak Ar.
“Pertengahan
Mei, Mbak.”
“Wah,
bulan depan berarti??”
Saya
termenung sejenak. Bulan depan. Wah cepat banget rasanya. Padahal kalau
dihitung secara hati, bukan akal, baru kemarin saya jomblo, pacaran, menikah,
eh sekarang mau punya anak. Bulan depan!!!
Segala
persiapan menanti kelahiran buah hati saya sebenarnya sudah hampir 90%. Mulai
dari hal yang sederhana nan kasat mata seperti pakaian, perlengkapan mandi,
perlengkapan tidur sampai hal rumit nan memusingkan kepala seperti RS tempat
bersalin, biaya, hingga nama yang nanti dituliskan di akta kelahirannya. Semua
sudah siap, mungkin hanya bersih-bersih kamar, sama persiapan menemani
kelahiran saja yang belum full siap. Ya kan, wong saya alergi liat darah. Suka geblak-geblak sendiri (baca aja pingsan).
Siangnya,
saya pulang ke rumah untuk persiapan Sholat Jumat. Tak ada yang beda dari Jumat-Jumat
sebelumnya. Hanya sesaat sebelum berangkat ke masjid, tiba-tiba istri nyelenuk
bilang :
“Pah,
aku kayake mau ngelahirkan deh!!”
Dieng!!!! Saya tidak mengeluarkan
sepatah kata apapun. Belum, bahkan tidak percaya sama sekali dengan celenukan
istri saya.
“Tadi
ngeluarin lendir sama darah, kata Budhe itu tanda-tanda mau ngelahirkan.”
“Wah-wah
apa-apaan ini. Padahal seminggu lalu saya mengantar USG ke Dr. Benny (Aura
Syifa 1), katanya juga pertengahan Mei lahirnya. Lha kok masih 8 bulan udah mau
ngelahirkan aja. Pasti itu tanda-tanda palsu kayak alamatnya Ayu TingTing.” umpat
saya dalam hati.
Jujur,
saya ndak khusuk buat Sholat Jumat
hari itu. Masih mikir, kok bisa mau ngelahirkan ndak kompromi gini. Kamar saya
belum dibersihkan dari sarang-sarang Spiderman, juga belum tatak kalo ngelihat darah yang keluar dari pangkal paha istri saya
bersamaan dengan keluarnya jabang bayi. Saya ini aneh, wong mau ketemu anaknya kok malah gak terima gini. Wah gak bener.
Di
akhir wiridan Jumat, saya berdoa :
“Ya
Allah, bila emang anakku Engkau lahirkan secepat ini, semoga dia juga menjadi
anak yang cepat pinter, cepet nyantolan,
juga cepat membanggakan orang tua juga keluarganya kelak.”
Selepas
Jumatan, saya mengantar istri ke Bidan Desa. Biar gak bingung, ngerti nggenahe. Karena saya paling anti
kalo ndak ngerti genahe, entah lagi
sakit atau lagi apapun itu. Lebih baik mencari kebenaran dibandingkan terus
menggalau tanpa arah jalan pulang.
Hasil
penerawangan Bidan Desa adalah negatif “mbukak” (istilah yang sering dipakai
untuk orang melahirkan). Bidan bilang itu bisa saja tanda-tanda palsu, atau
juga bisa benar. Lah piye toh??
Bidannya ternyata juga ndak ngerti genahe.
Padahal saya datang ke beliau biar ngerti nggenahe
lha kok orangnya juga malah bikin saya dan istri jadi makin menggalau tanpa
arah jalan pulang. Bidan hanya menyarankan untuk menunggu tanda-tanda
berikutnya, juga memberikan Surat Rujukan ke RS apabila sewaktu-waktu istri
saya mengalami “mbukak”. Walah.
Setelah
dari Bidan, saya sempat mengobrol ringan dengan istri, menanyakan siap apa belum
melahirkan lebih cepat 1 bulan dari perkiraan. Istri bilang siap, saya juga
otomatis kudu siap. Masak suami kalah tatak
sama istri. Isin Lha Yauu. Kita juga
kudu siap dengan segala bentuk kiasan negatif yang nantinya keluar dari
mulut-mulut orang yang selalu negatif ke kita. Bah diomongne, metheng disek yo?? Nyicel disek yo, kok wes lair?? Biarlah!
Toh hanya kita dan Tuhan yang tau cerita sebenarnya. Juga sudah ada bukti
otentik dari Bidan dan Dr. Benny bahwasanya usia kehamilan masih 8 bulan, bulan
ini.
Sabtu
pagi hingga petang, tak ada tanda-tanda yang muncul lagi dari rahim istri. Saya
semakin percaya kalo lendir dan darah kemarin hanyalah tanda-tanda palsu. PHP tok, gak usah direken!! Istri juga
percaya. Bahkan, malamnya saya juga sempat futsal pulang jam 1 pagi. Istri juga
begadang liat uji nyali di tipi sampai jam 2 pagi.
Namanya
PHP, pasti kadang bisa bener kadang bisa salah. Nyatanya, sabtu tanda tersebut
gak muncul, eh minggu sewaktu bangun pagi, istri mengalami tanda-tanda
melahirkan kembali. Lendir dirasa seperti pipis yang keluar sendiri dari rahim.
Saya pun langsung dibangunkan untuk 5 menit kemudian dalam perjalanan menuju
RS. Aura Syifa 1. Walah.
Dalam
pemeriksaan beberapa suster jaga yang kelihatan judes walau cantik, istri saya
ternyata udah mbukak 1, otomatis
harus segera dipersiapkan kelahiran buah hati saya. Waduh, kadung tadi
berangkat ke RS gak bawa apa-apa, cuma baju yang nempel di pakaian, sama tas
kecil yang buat adah koran ae gak sedeng.
Berhubung kamar bersalin di RS Aura Syifa 1 penuh, maka istri (yang sudah
dikasih infus) dipindahkan ke RS Aura Syifa 2. Bersyukurlah, lebih dekat dengan
rumah soalnya.
Hari
pertama di RS (Minggu 19 April 2015), istri mulai mengalami kontraksi yang
bikin kita kadang gak tega ngeliat. Sakit banget katanya, kayak orang delepen tapi lebih sakit. Saya gak bisa
membayangkan, lha wong delepen aja
saya gak pernah ngalami. Sampai malam, ternyata tak ada perkembangan berarti,
istri tetap mbukak di level 1, padahal
harus sampai level 10 buat persalinan.
Hari
kedua (Senin, 20 April 2015), pagi hari setelah diperiksa oleh suster jaga,
ternyata masih di level 1. Suster tersebut bahkan sempat mengultimatum istri
saya.
“Mbak,
kalau nanti siang tetep mbukak 1.
Mbak lebih baik pulang ke rumah, ditunggu dan ditahan 2 minggu lagi. Karena
bayinya masih prematur.”
Ediaaannn…
“Lha wong sakite kayak gini, kok disuruh
ngempet 2 minggu” batin istri saya.
Betul
kata Nabi Muhammad, doa yang paling cepat dikabulkan Allah adalah doa orang
yang sedang kesakitan. Buktinya, beberapa menit setelah suster tersebut mengultimatum
istri saya, eh air ketuban istri pecah. Otomatis proses persalinan tak bisa
lagi di empet selama 2 minggu, ya kudu secepatnya. Istri juga semakin
kesakitan saat kontraksi. Sabar ya Mah, aku selalu setia disampingmu.
Akhir
dari petualangan (baca kesakitan) istri di hari kedua adalah mbukak di level 3
pada malam hari. Saya sudah ndak bisa, juga tega buat tidur nyenyak di samping
ranjang istri. Hanya sibuk ngelus-ngelus rambut istri seraya terus mengucap
takbir di saat dia berteriak kesakitan.
Hari
ketiga (Selasa, 21 April 2015). Subuh saya pulang ke rumah, mencuci jarik istri yang sudah kotor. Di akhir
wiridan Subuh saya kembali berdoa, agar dilancarkan semua proses persalinan
istri saya di hari ini. Jujur hati saya mulai rapuh, melihat betapa sakitnya
istri di saat kontraksi selama 2 hari terakhir.
Sekembalinya
dari rumah menuju RS tempat istri menginap, kabar baik saya terima. Istri sudah
mbukak di level 6 pada pukul 8 pagi,
dilanjut mbukak di level 8 dua jam
kemudian. Alhamdulillah.
Sejurus
kemudian, saya dipanggil dokter untuk tanda tangan surat persetujuan
diberikannya infus perangsang. Katanya sih untuk mempercepat proses persalinan,
meski sebenarnya banyak orang bilang malah mempersakit saat kontraksi. Saya tanda
tangani surat tersebut, karena saya lebih memilih suakit banget tapi ndang bar, daripada sakite alon-alon tapi suwi
eram.
Jam 1
siang, genap sudah level pembukaan pada rahim istri saya. Persiapan proses
persalinan segera dilakukan. Termasuk kesiapan tatake ati, siap-siap melihat darah keluar dari rahim, disambung
dengan tangisan bayi saya nantinya. Saya kemudian bersugesti, darah adalah saos
bakso, darah adalah saos bakso, agar saya ndak
nggeblak waktu liat darah ntar.
Proses
persalinan berlangsung hampir 1 setengah jam. Kendala besarnya bayi dan
kecilnya rahim istri membuat proses persalinan berjalan lebih lama.
Alhamdulillah, berkat bantuan 3 suster jaga dan doa-doa dari beberapa keluarga
yang menanti di luar ruangan, bayi kecil berjenis kelamin perempuan keluar dari
rahim istri saya tepat jam 14.40 waktu RS. Aura Syifa. Tak ada darah yang
menempel, melainkan putih-putih yang ternyata lemak yang menempel di badan bayi
mungil kami. Alhamdulillah, yang penting istri dan bayi menjalani proses
persalinan dengan selamat dan lancar.
Setelah
mengumandangkan adzan dan iqomah di telinga kecil bayi, saya berjalan ke arah
istri yang terengah-engah. Sebuah kecupan kecil di keningnya saya berikan,
sebagai tanda selamat dan syukur yang dalam. Hanya itulah yang saya berikan
untuk istri yang sudah mengalami sakit yang hebat dalam 3 hari berturut-turut.
Selain dukungan juga kehadiran saya di sisinya tentunya.
Seminggu
kemudian, tepat hari ini saya menulis kisah kecil ini. Saya tak pernah berhenti
bersyukur setiap selesai sholat, atas segala karunia dan nikmat yang diberikan
olehNya. Dr. Benny, sewaktu kontrol keadaan bayi dan istri saya sempat berkata
:
“Beruntung
lahirnya prematur, karena bobot dan apa yang dibawa oleh sang bayi sudah matang
dan siap. Andai lahirnya tepat sembilan bulan seperti perkiraan, bisa saja
malah operasi, karena secara ilmiah, keadaan bayi sudah terlampau matang, bobot
pun kemungkinan bertambah, dan itu bisa membahayakan sang ibu bayi.”
Saya
hanya bisa menghela nafas panjang. Sungguh rencana Tuhan tak pernah mampu
dijangkau oleh makhlukNya. Rencana Tuhan yang jauh lebih baik dan indah, serta
harus kita syukuri untuk hikmahnya.
Saya
kemudian dan selamanya akan bersyukur dengan kehidupan ini, entah di saat suka
maupun duka. Dalam keadaan yang menyenangkan maupun tertekan oleh masalah. Karena
Tuhan pasti punya rencana terbaik bagi siapapun makhlukNya.
And
last… Selamat datang putriku, NAFILA SHIDQIA VINAJIBA di kehidupan dunia ini.
Akan banyak cerita yang kamu dan kita lalui. Dan semoga segala cita yang tak
pernah diraih papa dan mamamu bisa kamu capai, Nak!! Semoga beberapa tahun
mendatang, kamu mau dan mampu tersenyum membaca kisah kelahiranmu ini,Nak!!
Kediri, 29 April 2015

Tidak ada komentar:
Posting Komentar